Yang tersisa dari kepergian Ruwaifi: Jatuh dan bangkit lagi

9:41:00 AM


Beberapa waktu lalu, saya bersama beberapa orang teman kuliah mendatangi acara aqiqahan anak senior kami. Awalnya saya sempat ragu, pergi nggak ya, pergi nggak ya, saya takut nangis air terjun pas ngelihat bayi-bayi seumuran Ruwaifi’.

Setelah menimbang-nimbang, akhirnya saya putuskan untuk hadir berbekal nasehat seorang kenalann bahwa rasa takut harus dilawan, seberapapun perihnya perasaan kita harus tetap tampil tabah. Tabah, padahal hanya lima huruf saja tapi bebannya segunung.


Akhirnya hari yang ditunggu datang juga, janjian jam 10, saya sama suami nyampe tempat janjian jam 10 lewat, teman janjian baru pada datang saat si jam hampir menyentuh angkat 12.


Dannnn degggggg, perasaann saya bergemuruh membadaai saat melihat dua teman saya menggedong bayi, satu seumuran Ruwaifi, satunya lagi beda enam bulanan. Tapi tenang, nangis air terjun itu nggak sampe kejadian, saya menarik napas sepanjang 10 kilometer, huhmmmmmmmmm... dan mulailah saya menyapa dua bayi imut itu, menyapa, mencium, lalu saya mengusap air mata yang sempat meniti sambil spek-spek benarin jilbab. Rasanya ingin lari ke gunung. Haha.


Setelah ngobrol sebentar, kami bergerak mencari spot yang enak untuk ngobrol lebih panjang lagi, dan saya, masih mengatur-ngatur hati dengan teriaaaakan keras ala ciliderrr.... “kuatt rahma... Kuat raaaaahmaaa... Hosh...hosssh.. Hosssshhhh..”


Obrolan panjang pun dibukaaa, sesekali dua teman saya membahas bayi mereka, sudah bisa apa, gimana makannya, rewel nggak, dan banyak lagi, saya disitu, masih stay cool sesekali menanggapi, kebanyakan hanya diam menyimak. Suami saya pun demikiaan. Kodong. 


Selepas dzuhur kami menuju tempat aqiqahan, sepanjang jalan hati saya serasa teraduk-aduk, sempat menyesal kenapa tadi sudah sok kuaat, harusnya saya di rumah aja bobo-bobo cantik...


Tapi, hidup harus tetap go on, akhirnyaa kami sampai juga di tempat aqiqihan, banyaak banget bayi di sana, puncak perasaan saya ada pada prosesi akhir melihat si bayi yang baru di aqiqah. OMG. Huft... inilah dinamika hidup, harus tetap dijalani


Sepulang dari acara aqiqahan, saya dan suami hanyaa saling menatap. Semangat!


-----


Berselang beberapa hari sebelum acara aqiqah, salah seorang teman di lembaga dakwah kampus baru menghubungi saya setelah tiga bulan meninggalnya anak saya, alasannya cukup membuat saya spicles, katanyaa dia tidak menemukan kata untuk menghibur atau sekedar menyabarkan saya. :)

Iya, saya juga pernah mengalami posisi yang ia rasakan saat seorang kenalan mengalami perasaaan serupa saya, saya kehabisan kata, dan bawaaannya takut membuat dia semakin sedih dengan omongan atau kelakukan saya. Bersikap pada keadaan ini butuh penyikapan yang passs, lalu bagaimana menghibur teman kita yang sedang berdukaa, ini berdasarkan keinginan saya aja ya maunya di hibur seperti apa.. Haha... Modus...

1. Jangan Kepo


Kepo yang tidak berperasaan berapa kali saya alami saat Ruwaifi meninggal, beberapa ada yang ingin tahunya menghalalkan segala cara, mulai dari menelpon saya langsung, lewat bbm, wa, inbox fb, sampai nanya ke teman yang lain.

lalu setelah si kepo pergi, saya bermuram durja, sedang si kepo melanjutkan hidup seperti biasa, bisa dibilang nggak ada manfaatnya sama sekali. Kalaupun ingin mengambil hikmah, pleaseee tunggu waktu yang pas ya geiss. 


Kadang-kadang membahas sebab meninggal si anak jauh lebih menyedihkan dari meninggalnya si anak. Jadi jangan kepo. Jangan kepo. Jangan kepo. Biarkan si ibu membahas sendiri kalau dia mau.

2. Membagun perasaan empati
 

Susah kali ya memposisikan diri sebagai penderitaa, membayangkan bahwa gimana rasanya jika anak meninggal.

Salah seorang pemimpin di tempat saya bekerja pernah bilang ke saya, bahwa perasaan kehilangan seorang anak untuk seorang ibu baik itu keguguran, meninggal dalam kandungan, meninggal saat masih bayi, meninggal karena sakit, meninggal pas sudah tua tetap saja meninggalkan duka yang sama, jadi nggak pas kita mengatakan bahwa si anu beruntung karena anaknya meninggal pas baru lahir, dibanding si nenek yang anaknya meninggal setelah dibesarkan puluhan tahun.


Terusss.... Kalau bisa jangan bahas urusan anak dulu sama si doi yang lagi sedih. Hehe... Perasaaan saya banget ini mah.

3. Jangan menempatkan si doi dalam posisi di kasianin.


Saya tuh malah sering meweknya pas ada yang aduhai-aduhai mengingatkan betapa sedihnya kehilangan anak. Menyabarkan lebih baik.


4. Jangan mengajak berandai-andai..


Ini penyakin lateeeeen yang harus dihindari. Dan ini adalah buah dari kepo ingin tahu sebab meninggalnya si anak.


Setelah tahu sebab mengapa si anak meninggal, beberapa ada yang langsungan-langsungan ngomong ke saya, kenapa nggak begini, kenapa nggak begitu, coba begini pasti nggak begitu. 


Dan saya pun menangis air terjun pas diginiian.

5. Untuk kita yang kehilangan anak, percaya bahwa ada rencana Allah atas setiap takdir yang menimpa kita.


Salah satu mantra yang saya ulang-ulang pas hadirin acara aqiqahan adalah “Rahma kamu harusss kuat, kamu di uji seperti ini karena kamu bisa melewaatinya”


-----
Bagi seorang perempuaan yang ditinggal anaknya tidak ada hal yang paling indah selain mengetahui bahwa anaknya yang meninggal baik-baik di sana, bayi yang meninggal pasti masuk syurga. Hiburan ini bisa disampaikan jika ada teman kita yang kehilangan anak. 


Sekian bahasa kalbu dari saya.


Rahma Ummu Ruwaifi’

You Might Also Like

0 comments

I'm Proud Member Of